Selasa, 08 Juli 2008

mengadili persepsi (bermain tuhan)

Individu, individu merdeka
Individu, individu merdeka
Individu, individu merdeka
Individu, individu merdeka!

Selamat datang di era kemunduran,
pikiran tertutup jadi andalan.
Praduga tumbuh tenteram,
menghakimi sepihak, sebar ketakutan.

Membakukan persepsi, bukan jadi jawaban
atau gagasan bijak.
Selangkah maju ke depan,
empat langkah ke belakang,
kita takkan beranjak.

Mereka, bermain Tuhan.
Merasa benar, menjajah nalar.
Dan kalau kita membiarkan saja, anak kita berikutnya.

Individu, individu merdeka
Individu, individu merdeka
Individu, individu merdeka
Individu, individu merdeka!

Selamat tinggal, era kemajuan,
lupakan harapan dan kehidupan.
Menjauh dari akar masalah,
mendekatkan kepada kebodohan yang dipertahankan.

Privasi. Seni.
Siapa engkau yang menghakimi?
Masih banyak masalah, dan lebih krusial,
tidak bicara asal.

Mereka bermain Tuhan.
Merasa benar, menjajah nalar.
Dan kalau kita membiarkan saja, anak kita berikutnya.
Berikutnya….

Sudahkah merdeka??
Sudahkah dirimu merdeka??

Individu, individu merdeka
Individu, individu merdeka
Individu, individu merdeka
Individu, individu merdeka!

I M A G I N E R

Ada banyak dibelakangku, tampak dengan jelas bahwa yang ini mengikuti. Yang begitu cepat hingga terasa menempel erat, dan terasa begitu tak memberi kenyamanan. Yang sangat lamban terlihat begitu jauh seakan tertinggal dan seolah tak ada minat, tapi kadang yang ini lebih menyita banyak rongga di otakku. Banyak yang ‘nampak’ begitu baik, juga tak kalah banyaknya yang terlihat begitu buruk. Kadang, hingga terasa seolah-olah busuk. Seakan berusaha melengkapi, hingga begitu kuat, namun terkadang terasa menghalangi. Seolah santai, seperti acuh tak acuh. Namun kadang yang ini memuluskan jalan, hingga begitu licin seakan tak bergelombang. Aura dan perasaan indah atau damai kadang datang bersama yang ini. Tak ketinggalan gelap dan pengap pun sering bergantian untuk datang dan melengkapi. Hingga harus ku sadari bahwa ada di antara kesukaanku tertinggal di belakang. Mungkin memang benar-benar tertinggal dan begitu jauh. Ataupun, ternyata menempel erat dengan bagian belakang-belakang tadi, aku tak tahu. Karena kadang aku menjadi begitu banyak perenungan dengan hal ini. Tapi kemudian tak tahu arah. Hingga seolah minim gairah, entah siapa yang membawa dan menerbangkan sang gairah itu. Dan dikemudian waktu, perenungan itu datang kembali, hingga lama-lama aku menjadi jemu dengannya. Apa aku tak sadar, tak disadarkan atau memang tak mau sadar. Aku tak minat dengan yang itu. Mungkin ada bagian yang menutupi bagian, ada belahan yang menutupi belahan. Dan apapun itu bentuknya, sepertinya mereka saling menutupi. Baik dari yang sejenis ataupun yang jelas-jelas berbeda jenis. Ini seperti halnya pegerakan dinamis dari fluida, menyebar ke segala arah, mengikuti bentuknya dan terus memenuhi hingga menjejali ruangnya. Apapun itu hingga aku berusaha berbuat tak perduli, dan tetap menatap lurus ke depan. Kadang begitu lurus, kadang ikut menyebar. Tercerai berai dan banyak arah. Aku selalu minat dengan yang depan ini. Sepertinya kesukaanku pun ada di depan. Dan begitu lekat menempel dengan suatu hal bernama objek. Objek yang mana ?, aku kembali terkulai dengan yang satu ini karena kadang menjadi begitu banyak. Banyak hal natural yang ku buat menghilang. Banyak pula hal tak pasti dan buatan yang ku buat menjadi sealami mungkin. Baik yang belakang mengejar atau yang depan terus berjalan. Kadang satu diantara banyak itu menjadi alami dan satu suasana. Diikat waktu dan bisa untuk dinikmati. Lalu terlepas kembali. Kemudian ku siapkan sebuah selongsong. Selongsong ini seiring waktu nampaknya akan meledak dengan hebat. Tapi tak tahu waktu mana yang akan datang, juga sering kali tak tahu kegunaan dan tak berarah. Hingga kadang ketika aku coba sedikit memaksa untuk melepas sedikit muatan didalamnya. Muatan itu melontar, walau tak jelas tapi kadang menempel dengan objek tadi. Tentunya semua itu ku lepas ke depan. Tapi lebih sering hilang kendali dan berhenti tengah jalan. Lalu tercecer di jalurku. Dan yang belakang, karena begitu terus mengikuti akhirnya mendapatinya dan semakin melekatkannya dengan ku. Bom waktu ini benar-benar tak terkendali, dan akan meledak dahsyat. Lalu kadang aku sadar para objek di depan telah terkunci mati. Tapi kadang-kadang seolah berusaha melepaskan diri dari jeratannya. Dan berbalik arah, hingga terlihat jelas olehku. Seolah ingin menunggu dan penuh harap untuk menungguku. Setelah sekuat tenaga aku hampiri dan mendekat hingga aku dapati dan bersama-sama. Ternyata mereka berhenti tak lalu berjalan, dan aku menjadi seorang yang meninggalkan hal yang aku cari sebelumnya. Sebagian yang telah tertinggal itu memang kadang ikut menempel mengikuti dengan hal belakang-belakang tadi. Tapi sebagian yang lain terus berhenti dan mematung. Dan seperti tulisan yang aku buat ini, begitu sesak. Berputar balik, dan tak membuat nyaman aku pun menjadi banyak bingung untuk mengakhirinya.

ringan sekali

Coba ku catat nomor telephone genggamu ?.

Baiklah, kau memberinya. Lalu mulai ku tulis,

081 (kosong delapan satu)

32 (tiga dua) !

32 (tiga dua) !

32 (tiga dua) !

32 (tiga dua) !

32 (tiga dua) !

32 (tiga dua) !

32 (tiga dua) !

32 (tiga dua) !

32 (tiga dua) !

Ah, kurang ajar ternyata kau hanya bergurau..

(untuk teman2 ku, kalian sialan!hahaha....terimakasih untuk segala canda tawa dan keriangan setiap hari)

harus dicoba (mungkin)

Langit masih biru, setidaknya itu yang tetap aku rasakan. Awan masih saling beriring-iringan. Melengkapi birunya langit yang nampak bak singgasana baginya. Ada sembilu diantara birunya langit itu. Walau tak ada petir, atau hujan tak serta merta tumpah ruah menerjangku. Tapi, pelangi pun tak nampak di sana. Ada diantara langit biru itu yang mungkin beranjak mendung. Tapi seharusnya tak terlalu besar juga tak perlu kurasakan hingga begitu besar. Atau, mungkin memang aku yang salah melihat dan merasakan. Bagaimana jika sebenarnya si ‘langit mendung’ itu adalah badai ?. Badai yang mulai merangkak datang, dan segera menyergapku. Menerjang dengan ganas, dan meluluh-lantahkan semuanya. Aku menjadi diantara sebagian yang tak banyak tahu. Merasakan nikmatnya langit biru mungkin bagian dari harapan. Kenikmatan yang bisa saja tak akan terulang. Tapi, mempersiapkan terjangan yang dicurigai badai itu bisa menjadi jauh lebih penting. Mungkinkah, sesekali orang harus merasakan akan adanya sebuah badai ?. Karena pernah pula terlintas di kepalaku, bahwa bukan badai jika tak menghacurkan. Jadi, mungkinkah pula menikmati badai adalah bagian dari kenikmatan juga ?. lama-lama hingga begitu lama kita bisa merenunginya. Dan ah, ternyata masih ada satu harapan lain. Harapan yang terlalu banyak dilupakan, karena begitu terlena dibuatnya. Bukankah bisa saja bahwa itu hanya mendung. Tepat seperti perkiraan awal. Bukankah begitu indah, jika setelah menikmati birunya langit, kita kemudian digoda oleh ‘si mendung’. Yang ternyata hanya menghasilkan hujan gerimis. Hujan yang seringkali memanggil-manggil kita untuk bermain bersamanya saat kita kecil. Hujan yang melangkapi kehangatan suasana dua makhluk yang sedang mabuk kepayan. Hujan yang dilain waktu bisa menjadi obat ketika terik memancar. Hujan itu bisa menjadi surga. Setelahnya kita tinggal mengharapkan pelangi datang. Begitu indah, tepat disore hari setelah semuanya berlalu. Hingga hujan kecil itu membuat sejuk suasana, ketika kita kembali mencoba menikmati luasnya langit. Hingga sang matahari terbenam. Sesuatu yang indah-amat-sangat. Untuk yang ini memang harus dicoba, harus dicoba hingga matahari tenggelam. Dan memang benar adanya, jika tenggelam kedalam pelamunan luas bisa begitu memusingkan.